Benarkah Ucapan Mardani? Inilah Wanita Indonesia Pertama Pendaki Everest yang Kini Gangguan Jiwa
Prabowo dan Mount Everest mendadak menjadi perbincangan setelah tayangan "Mata Najwa" di Trans7, Rabu (10/10/2018) lalu.
Dalam acara Mata Najwa, tiap tim pemenangan calon presiden Indonesia menjelaskan track record para kandidat yang diusung.
Dari kubu Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin, ada Arsul Sani, sedangkan kubu Prabowo dan Sandiaga Uno, ada Mardani Ali Sera.
Ucapan Mardani Ali Sera selaku Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno lah, yang akhirnya disoroti publik.
Pasalnya, Mardani Ali Sera mengatakan, Prabowo telah membuktikan kualitasnya dengan menaklukkan puncak gunung tertinggi, Mount Everest.
"Prabowo sudah membuktikan kualitasnya, 26 April 1997 ketika tidak ada satu orang pun dari Asia Tenggara yang mampu menaklukan Everest, Prabowo dengan tim Kopassusnya mampu menaklukkan gunung tertinggi di dunia, itu ciri kepemimpinan utama, Prabowo punya kemampuan membereskan banyak hal," ujarnya.
Menanggapi pernyataan dari Mardani Ali Sera, Arsul Sani mengatakan jika dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) bukan terkait mencari pendaki gunung yang terbaik.
"Tadi Bang Arsul Sani mengatakan rekam jejaknya Pak Jokowi ini karier dari bawah Wali Kota, Gubernur, dan Presiden, tadi dikatakan rekam jejaknya Pak Prabowo untuk menaklukkan Mount Everest."
"Mana yang lebih relevan, mana yang lebih bisa meyakinkan Anda, bahwa ini adalah rekam jejak yang diperlukan," ujar Najwa Shihab selaku pembawa acara.
Najwa Shihab pun mempersilakan Arsul Sani untuk mengomentari penyataan Mardani Ali Sera terkait rekam jejak Prabowo.
"Ini yang mau saya sampaikan, bahwa Pilpres itu kita bukan melakukan pemilihan pendaki gunung, Pilpres adalah memilih administrator kepemimpinan tertinggi, dan itu sudah dibuktikan oleh Pak Jokowi," ujar Arsul Sani.
Terkait soal pernyataan Mardani Ali Sera, benarkah Prabowo dan tim, yang pertama menaklukkan puncak Mount Everest?
Pernyataan Mardani Ali Sera ini tidak bisa ditelan mentah-mentah.
Sebab pada Eksepedisi Indonesia Everest '97, prajurit Kopassus, Asmujiono lah yang berhasil menginjakkan kaki di puncak tertinggi di dunia tersebut, seperti dikutip TribunJatim.com dari Intisari.grid.id.
Prabowo memang memiliki peran dalam ekspedisi tersebut, karena saat itu dirinya menjabat sebagai Danjen Kopassus dan menggagas ide untuk mengirim rombongan untuk menjadi orang Asia Tenggara pertama yang menaklukkan Everest.
Kisah dari Tim Ekspedisi Everest Indonesia 97 (kadang juga disebut Ekspedisi Indonesia Everest 97 atau Ekspedisi Everest 97) tertuang dalam artikel berjudul "Sang Saka Akhirnya Berkibar di Puncak Dunia".
Artikel ini ditulis oleh A Asianto dan Kurniasih TJ di tabloid Nova edisi 483/X 25 Mei 1997 silam.
Dalam artikel sebelumnya dikisahkan, bagaimana tim ekspedisi dibagi dua (tim utara dan tim selatan), namun hanya menyisakan tiga orang dari tim selatan menjelang puncak Everest.
Mereka adalah Lettu Iwan Setiawan (29), Sertu Misirin (31), dan Pratu Asmujiono (26).
Namun, berdasarkan penelusuran lebih lanjut di situs Everesthistory.com, bukan Pratu Asmujiono summiter pertama Mount Everest dari Asia Tenggara.
Tapi wanita kelahiran Yogyakarta, 6 Juli 1967, Clara Sumarwati, yang mendaki pada tanggal 26 September 1996.
Tak hanya orang Asia Tenggara pertama, Clara Sumarwati juga tercatat sebagai wanita Asia Tenggara pertama yang mencapai puncak Everest.
Ia berada di urutan ke-88 pada list tahun 1996.
Dilansir TribunJatim.com dari Wikipedia, pendakian Everest tahun 1996 bukanlah ekspedisi Everest yang pertama bagi Clara.
Pada tahun 1994, ia bersama lima orang dari tim Perkumpulan Pendaki Gunung Angkatan Darat (PPGAD) berangkat, tetapi hanya mampu mencapai ketinggian 7.000 mdpl.
Hal ini karena terhadang kondisi medan yang teramat sulit dan berbahaya di jalur sebelah selatan Pegunungan Himalaya (lazim disebut South Col).
Kegagalan mencapai puncak ini justru membuat Clara Sumarwati semakin penasaran dan bercita-cita untuk mengibarkan Merah-Putih di puncak Everest pada 17 Agustus 1995, tepat 50 tahun Indonesia merdeka.
Sebanyak 12 perusahaan ia hubungi waktu itu untuk mendapatkan sponsor, karena biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, mencapai Rp 500 juta.
Namun, tidak ada jawaban, bahkan menurut Clara, bahkan ada pihak perusahaan yang meragukan kemampuannya sehingga enggan memberi dirinya sponsorship.
Salah satu pihak yang ia hubungi untuk sponsor adalah Panitia Ulang Tahun Emas Kemerdekaan Republik Indonesia, yang dibawahi Sekretariat Negara.
Clara dipanggil menghadap pada bulan Agustus 1995 dan mendapat konfirmasi bahwa Pemerintah bersedia mensponsori ekspedisinya.
Clara pun menjadwal ulang ekspedisi yang seharusnya memancang bendera Indonesia pada tahun 1995.
Ia mencanangkan ekspedisi berangkat pada tahun berikutnya, pada Juli 1996.
Ternyata pengunduran jadwal itu mempunyai makna tersendiri.
Karena pada tahun 1995, terjadi badai dahsyat di Himalaya yang menewaskan 208 pendaki dari berbagai negara.
Akhirnya Clara Sumarwati menjadikan dirinya orang Asia Tenggara yang pertama sampai di puncak Everest, yaitu pada 26 September 1996.
Nama dan tanggal pencapaiannya tercatat antara lain di buku-buku mengenai Everest karya Walt Unsworth (1999), "Everest: Expedition to the Ultimate" karya Reinhold Messner (1999) dan website EverestHistory.com.
Dalam pencarian informasi di Google, juga terdapat 889 hasil yang menyebutkan bahwa Clara Sumarwati adalah pendaki asal Indonesia dan Asia Tenggara pertama yang berhasil mencapai Gunung Everest di ketinggian 8.848 mdpl.
Atas prestasinya ini, dia mendapatkan penghargaan Bintang Naraya dari pemerintah saat itu, TribunJatim.com melansir Kompas.com.
Sayangnya, prestasi Clara ini sempat diragukan kebenarannya dari berbagai pihak di Tanah Air.
Semata-mata karena Clara dianggap tidak memberi cukup bukti, contohnya seperti foto yang menunjukkan ia memegang bendera yang tertancap di puncak.
Kini Clara, lahir pada 6 Juli 1967, yang telah berusia 44 tahun, dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof dr Soerojo, Magelang.
Direktur Medik dan Keperawatan RSJ Prof dr Soerojo, Magelang, Bella Patriajaya mengatakan kepada Kompas.com, Clara adalah pasien kambuhan yang sudah tiga kali menjalani perawatan.
Gangguan jiwa yang dideritanya beberapa kali kambuh karena dia tidak rutin mengkonsumsi obat.
"Namun, sejauh ini, kami belum bisa menyimpulkan faktor pemicu apa yang menyebabkan Clara mengalami gangguan jiwa," ujarnya, Minggu (11/10/2018).
Sekarang ini, Clara sudah menjalani perawatan di RSJ selama dua minggu.
Kendati kondisinya membaik, keluarga menolak menjemputnya karena khawatir sewaktu-waktu Clara kumat kembali.
Surat penolakan menjemput ini bahkan dilampiri keterangan dari RT dan RW setempat dari alamat tempat tinggalnya di Minggiran, Sleman, DIY.
Dalam suratnya menyatakan, lingkungan sekitar alamat tempat tinggalnya juga menolak keberadaan wanita ini kembali.
"Dengan kondisi tersebut, Clara tidak bisa dipulangkan, dan kami tampung dulu di sini," ujar Bella.
Menurut Bella, ini merupakan kondisi yang rutin dialami pasien di RSJ.
Dengan berbagai kejadian semacam ini, dapat disimpulkan bahwa selain beban gangguan jiwa yang dialaminya, pasien sebenarnya menanggung masalah yang lebih besar, yaitu beban sosial karena ditolak oleh lingkungannya.
"Ini lumrah terjadi pada pasien gangguan jiwa mana pun, termasuk mereka yang berprestasi seperti Clara," ujarnya.
Clara pertama kali masuk dan dirawat di RSJ, setahun setelah menaklukkan Everest, yakni pada 1997.
Selama di RSJ, dia pun kerap bercerita bahwa dia pernah mendaki Gunung Everest.
Namun, ceritanya kerap diabaikan oleh para tenaga medis karena dianggap hanya sebagai bagian dari khayalannya.
"Kami pun bertambah tidak percaya, karena pihak keluarganya sendiri menyangsikan dia pernah mendaki gunung," ujarnya.
Prestasi Clara dan keberadaannya sebagai sosok istimewa yang pernah mengharumkan nama bangsa, baru terungkap pada minggu lalu.
Saat itu, ada sejumlah tim penilai pemuda pelopor dari Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga yang datang untuk menilai wakil kontingen Jawa Tengah untuk lomba pemuda pelopor tingkat nasional, Poppy Safitri.
Salah satu aktivitas Poppy Safitri adalah mengajar tari di RSJ.
Dalam kunjungan ke RSJ itulah, salah satu anggota tim mengenali sosok Clara.
sumber: tribunnews
0 Response to "Benarkah Ucapan Mardani? Inilah Wanita Indonesia Pertama Pendaki Everest yang Kini Gangguan Jiwa"
Post a Comment