“Selama Kita Pe Anak Belum Ditemukan, Kita Anggap Dia Masih Ada”
Keluarga Diego yang berada di Desa Suwaan, Minut, terus berdoa ada keajaiban. Dari mulut sang paman, dr David Tuerah, Diego dikenal baik serta taat beribadah. Bahkan tak banyak yang tahu, sebelum menempuh pendidikan di sekolah penerbangan Sriwijaya Flying School, dirinya sudah terlebih dahulu mendapat gelar sarjana ekonomi di Unika Adma Jaya.
Darah penerbang telah berada dalam darah anak bungsu dari tiga bersaudara ini. Pasalnya sejak kecil dia sudah sering terbang dari kokpit. Sebab sang ayah, Boy Mamahit, adalah petinggi di maskapai Bouraq Air. Saat mendapat jadwal penerbangan ke Manado, ayah satu orang anak itu memilih menginap di rumah keluarga.
Saat ditemui, sangat kentara kecemasan di wajah David Tuerah. “Mamanya Diego, kakak saya. Kami orang Suwaan. Papanya Diego orang Remboken. Tapi begitu mereka menikah, mereka pindah ke Surabaya,” katanya saat ditemui di rumahnya, Desa Suwaan jaga 1, tempat Diego selalu menginap jika berada di Sulut.
Dia menjelaskan, ayah Diego dulu sempat ditempatkan di Bouraq Air Manado. Kemudian pindah ke Surabaya dan Jakarta. Dan seterusnya mereka sudah menetap di Jakarta. “Dan memang Diego ini tinggal di Jakarta. Namun setiap kalau ada jadwal terbang ke Manado, pasti tidur di sini (Suwaan). Dia tidak mau tidur di mess,” tambah dr David yang merupakan adik kandung Evelyn Tuerah, ibu Diego.
Antusias Diego bertemu dengan keluarga di Manado sangat besar. Kata David, walau masih berada di kokpit pesawat di bandara, dia sudah memberi kabar. “Itu anak sangat dekat dengan keluarga. Saya kalau terharu sekali kalau bercerita tentang Diego. Karena saya yang selalu jemput dia. Begitu masih di kokpit pesawat ketika sudah di airport, dia sudah akan telepon. Om David aku udah di Manado. Tolong jemput aku di mess aja,” kata dr David menirukan permintaan Diego.
Walau kadang tidur di kursi di ruang tamu, namun dia lebih memilih menginap di rumah keluarga besar ibunya. “Dia lebih suka di sini, biar kadang dia tidur di kursi ruang tamu. Karena ini rumah mamanya, rumah orang tua. Jadi dia tahu mamanya besar di sini. Jadi tiap on schedule ke Manado, saya jemput di mess. Dia selalu minta izin ke kaptennya, untuk tidur di rumah keluarga. Dan pasti ngobrol sampai tengah malam. Selalu begitu,” terangnya menambahkan bahwa dia juga yang mengantar Diego setiap mau ke bandara.
Namun tambah dr David, setahun belakangan, hampir tidak dapat jadwal ke Manado. “Kan seluruh airlines dikurangi. Terakhir sekira awal tahun 2020. Sudah hampir setahun lalu. Kalau tidak salah Februari tahun lalu,” terangnya. “Kalau kontak telepon dan WA sering. Desember saja masih kontak. Kalau untuk bertemu sudah setahun ini tidak,” terangnya.
Dia menjelaskan Diego lahir di Surabaya dan menempuh pendidikan di Jakarta. Dan memperoleh gelar sarjana ekonomi lulusan Unika Atma Jaya. Kemudian melanjutkan sekolah pilot di Sriwijaya Flying School, di Bangka Belitung. Sekira 9 tahun lalu, tahun 2011. Mulai kontrak dengan Sriwijaya 7 tahun lalu.
“Itu karena papanya Diego, Boy Mamahit, adalah salah satu pendidikan Sriwijaya Flying School. Dan Diego ini jadi siswa angkatan pertama di sana. Ketertarikan jadi pilot, mungkin kalau bicara secara genetik. Karena dia sudah besar dengan lingkungan airlines. Papanya jadi orang kedua Bouraq Air,” terangnya.
Jadi dari kecil sudah terbiasa dengan kokpit. “Kalau papanya terbang, dia duduk di kokpit. Jadi sejak kecil sudah biasa di kokpit. Jiwa penerbang itu muncul karena dia sudah terbiasa dari kecil. Begitu papanya tawarkan, papanya bikin sekolah penerbangan, ditanya ke Diego. Dan dia menjawab mau. Karena dia pikir pilot sangat diperlukan. Begitu selesai sekolah pilot, sekira 2 tahun langsung dikontrak ikatan dinas dengan Sriwijaya tahun 2013,” tambahnya.
Keluarga sempat syok, namun tetap percaya, mujizat Tuhan tidak ada yang mustahil. “Kontak terakhir dengan kakak saya tadi pagi. Dan begitu kuatnya dia (ibu Diego). Tadinya saya sudah stress pikir, karena kakak saya juga sakit-sakitan. Kami pikir mereka syok. Sebab dari kemarin saya telepon tidak ada yang angkat. Karena rupanya lagi syok waktu itu,” katanya.
“Tadi pagi mereka yang telepon saya. Senang sekali karena dia (ibu Diego) bilang, selama kita pe anak belum ditemukan, kita anggap mukjizat Tuhan masih bisa berlaku. Jadi kita nda anggap dia sudah meninggal. Kita anggap dia masih ada, hanya masih hilang. Begitupun dengan papanya. Itu sebelum ke tim DVI di RS Kramat Jati untuk diambil sample DNA,” terangnya.
Keluarga juga
0 Response to "“Selama Kita Pe Anak Belum Ditemukan, Kita Anggap Dia Masih Ada”"
Post a Comment